Wednesday, January 18, 2006
Diterkam Thermal di Gunung Guntur
Banyak cara untuk bertualang. Kalau naik gunung? Sudah biasa. Kalau naik gunung lalu terbang dari lerengnya yang terjal dengan paralayang? Ini baru paduan petualangan yang mengasyikkan. Itulah yang dilakukan oleh sebelas penerbang yang tergabung dengan Tim Paralayang Boogie.
Ber-Landrover Ria
Setelah molor satu jam dari jadwal yang ditentukan, Hari jumat pukul 20.20 rombongan besar yang terdiri dari 23 orang meninggalkan Puncak, Bogor. Tiga landrover Boogie dan 4 mobil lainnya yang penuh dengan perlengkapan terbang, beriringan menderu di tengah kepadatan lalulintas jalur Puncak – Cipanas.
“ini kan akhir minggu panjang, pantesan aja padat merayap, mestinya kita berangkat lebih siang jadi nggak kena macet,” ungkap salah satu personil sedikit protes. Tetapi kemacetan ternyata nggak begitu lama, karena begitu lepas pasar Cipanas lalu lintas langsung cair. Rombongan kereta besi ini pun langsung menderu menuju Gunung Guntur yang terletak di Kabupaten Garut.
Baru sekitar jam 1.30 dini hari rombongan sampai di kawasan wisata Cipanas, Terogong, Garut. Lumayan juga pantat ngeglosor di atas jok landrover selama 5 jam lebih. Agar kondisi fisik tetap fit esok pagi, begitu sampai kamar hotel yang telah disediakan oleh Dinas Pariwisata Garut pasukan langsung merebahkan diri, istirahat. Tidur terasa hanya sekejap, belum sempat bermimpi indah pasukan harus bangun lagi dan siap untuk jalan.
”Mas sudah siang, katanya jam 5 pagi kita harus sudah begerak, ini udah jam setengah lima lebih,” ujar Rofiq sang penghubung porter yang bangun paling cepat. Saya yang jadi ketua rombongan pun langsung berdiri dan membangunkan pasukan yang masih nyenyak tidur. Nggak tega rasanya, tetapi sesuai jadwal rombongan harus mulai jalan pukul 5 pagi. “Wah mata masih sepet nih, baru aja ngegeletak sudah harus bangun lagi. Jadi nih kita naik Gunung Guntur?” ujar Erick si tukang potret dengan mata yang masih sayu.
Setengah jam kemudian semua sudah siap dengan perlengkapan masing-masing, tetapi Cuenk yang menjemput para porter belum datang juga padahal udah cukup lama. Baru pukul 5.30 rombongan porter yang terdiri dari sepuluh orang berasal dari Desa Warung Peuteuy sampai di hotel. Biar hemat waktu rombongan pun langsung cabut. Enam mobil yang penuh dengan ransel berisi peralatan terbang langsung bergerak ke kaki gunung Guntur melewati jalan tanah yang sempit dan berdebu. Jalan ini adalah jalan menuju ke arah lokasi penambangan pasir di kaki gunung Guntur.
Gunung Guntur adalah salah satu gunung api yang sedang tidur, terletak sekitar 10 km dari Kota Garut. Gunung Guntur yang mempunyai ketinggian 2290 m di atas permukaan laut memang sangat ideal buat lokasi terbang. Lerengnya sangat terjal bersudut kemiringan 2- s/d 45 derajat sangat aman untuk lepas landas. Apalagi sebagian lerengnya merupakan padang rumput dan ilalang. Rupa-rupanya batu-batuan bekas muntahan lahar yang meleleh dari bibir kawah ke lereng sebelah timur itu, meskipun sudah mulai lapuk namun belum mampu melebatkan tumbuhan batang keras di sini. Batuan yang menyebar merupakan potensi pembuat thermal yang dasyat. Inilah salah satu yang menjadi pilihan mengapa Gunung Guntur cocok bagi kami yang suka terbang.
Gunung Guntur biasa disebut pula dengan nama Gunung Bunder karena bentuknya. Di bawah puncaknya masih terdapat lubang kawah yang cukup dalam menganga, di beberapa bagian masih sering terlihat asap belerang yang mengepul tipis.
Maju Tiga Langah, Turun Satu Langkah
Puncak Gunung Guntur menguning keemasan tertimpa cahaya matahari pagi ketika kaki mulai melangkah meniti jalan setapak. Dengan perlengkapan masing-masing, penerbang, porter, dan tim pendukung yang total berjumlah 28 orang menuju ke sebuah lereng di puncak Gunung Guntur. Awal perjalanan sih oke-oke saja, tetapi setelah beberapa saat berjalan, jalan setapak yang sempit mulai terasa menanjak. Perlahan tetapi pasti, rombongan yang terdiri penerbang dan pendaki dari berbagai usia ini pun terus bergerak.
“Wah pemandangannya bagus ya, lihat dulu ah ,” ujar Om Johan sambil ambil napas panjang, meski umur sudah setengah abad, si Om yang brewokan ini tetap bersemangat untuk ikut serta. Peserta lain yang merasa penat ikut-ikutan pula dengan pura-pura melihat pemandangan. “Wah iya tuh bagus banget. Yang nampak dikejauhan itu Situ Bagendit,” Ujar David yang sering dipanggil Opa oleh teman-teman terbangnya.
Ilalang tampak menari-nari dihembus angin gunung. Siluet para penerbang dan kru darat tampak bergerak di antara daun-daun ilalang yang tumbuh di sepanjang lereng gunung Guntur yang botak. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. “Baru kali ini saya melihat pemandangan yang indah seperti ini, capek jadi hilang,” Celetuk Mas Inoel salah satu penerbang paralayang yang juga pilot Boing 747.
Kerikil lepas bekas muntahan lahar Guntur di sepanjang jalan cukup membuat sulit kaki, apalagi jalanan setapak makin menanjak aja. Setiap kaki menapak tiga langkah tak terasa selalu turun satu langkah. ”Kerikilnya membuat licin padahal sepatunya udah oke lho, ” ujar Dede anggota Tim paralayang Boogie yang termuda.
Saat melewati air terjun Citiis yang terletak di sisi kanan jalan setapak tampak banyak pendaki yang berkemah di sisi kanan kiri sungainya. Memang, buat pencinta alam di sekitar Garut, gunung ini menjadi salah satu tujuan pendakian yang cukup terkenal. Apalagi saat itu merupakan akhir minggu yang panjang yang bertepatan dengan hari Kemerdekaan RI.
“Wah ranselnya kok gede-gede banget mau kemana mas, mau kemah di atas ya, berapa lama?” tanya salah seorang pendaki yang berkemah di Air terjun Citiis. Salah satu dari kami kemudian sedikit menjelaskan tujuan bahwa kita akan terbang dengan paralayang dari gunung Guntur dan ransel gede yang kita bawa berisi parasut paralayang. “Terbang? Dengan parasut paralayang? Wah pasti asyik banget tuh…..ikutan dong mas,” ujar beberapa pendaki.
Saat kami sampai atas air terjun Citiis, puncak gunung masih tertutup kabut, angin juga masih berhembus lumayan kencang tetapi dari arah selatan. Kabut di sekitar puncak terlihat bergerak cepat tertiup angin menyisir lerengnya . “Paling-paling saat kita sampai atas kabutnya sudah hilang, jangan khawatir itu hanya sesaat!” ujar Opa David kepada anggota tim yang lain.
Pre-flight Check
Tak terasa dua jam sudah jalan setapak bekerikil dititi. Tepat pukul 9.00 rombongan anggota tim yang paling buncit sampai di sebuah punggungan yang terletak sekitar 30 menit jalan kaki dari Air Terjun Citiis. “Lumayan juga nih tanjakannya, apalagi bawa kamera segala,” ungkap Yudistira kameraman dari Metro Tivi yang ikut meliput.
Angin masih berhembus dari kanan lereng, kabut pun masih menutupi puncak. Sambil menunggu arah angin yang diinginkan dan kabut yang masih menggantung, saya dan Dedy naik ke lereng yang lebih tinggi untuk mencari tempat terbaik untuk lepas landas. “Di atas punggungan itu mungkin bagus Ded, cuma agak jauh lagi jalannya, kalau anginnya berubah dari depan tempatnya yang tadi kayaknya yang terbaik, ”teriak saya ke arah Dedy yang udah berjalan duluan.
Benar, baru berjalan 150 meter dari lokasi tim berhenti, angin mulai berubah arah persis dari depan lereng, cuma kecepatannya masih belum stabil. Windshock Boogie berwarna kuning yang dipasang di potongan ranting tampak bergoyang-goyang naik turun. Dari kejauhan David berteriak dan memberi tanda jempol yang menandakan arah sudah oke,
”Di sini aja get, udah bagus kok tinggal nunggu kecepatannya stabil,” teriak David dari atas batu besar berwarna hitam pekat itu. Tim segera berkumpul untuk upacara pembukaan. Berdiri melingkar di lereng terjal kita berdoa bersama-sama, ini tradisi para penerbang paralayang sebelum melakukan kegiatannya. Selesai berdoa, serempak anggota tim melakukan toast, dengan menyatukan tangan dan kemudian menghentakkan ke bawah bersama-sama seraya berteriak, “bravo paralayang.”
Ransel berisi perlengkapan terbang langsung dibuka. Helmet, harness, parasut, dan aksesoris terbang lainnya dikeluarkan. Sebelas penerbang langsung melakukan pemeriksaan perlengkapan sebelum terbang. Kru darat yang menyertai membantu seperlunya. Pre flight ini wajib hukumnya. Kesalahan sedikit di darat dapat menyebabkan masalah besar saat penerbang di angkasa, karenanya pemeriksaan ini harus dilakuan secara seksama dan hati-hati oleh setiap penerbang. “Talinya diperiksa tuh, banyak semak dan rumput, takut entar membelit,” ujar Idon kepada Kunun dan Anto yang baru pertama kali terbang dari ketinggian.
Diterkam Thermal.
Arah dan kecepatan angin sudah oke. Rumput dan ilalang yang berwarna kuning keemasan bergerak-gerak di tiup angin lembah. Seperti biasanya, untuk awalan selalu ada penerbang dummy yang terbang duluan untuk mencoba angin. Tak mudah tugas sebagai dummy, oleh karenanya seorang dummy biasanya orang yang sudah cukup berpengalaman dan tentu saja juga siap berkorban.
Harus berpengalaman, karena kondisi angin bisa saja “galak” dan saat itu dia harus mampu mengatasi kesulitan yang mungkin saja muncul. Siap berkorban, karena kadang-kadang kondisi angin justru belum bagus, sehingga penerbang dummy hanya terbang lurus dan langsung melayang turun. Setelah bersusah payah naik gunung, siapa yang mau hanya terbang singkat?
Setelah tengok sana sini, akhirnya ada juga yang merelakan diri jadi dummy. “Oke, saya siap jadi dummy,” ujar Dedy yang tinggal di Bandung. Parasut Bonanza berwarna pink yang bakal digunakan Dedy segera dibuka dan digelar. Setelah helmet dan harness dikenakan dan melakukan pre flight check, riser kemudian ditarik. Hanya dengan satu satu hentakan parasut langsung memerangkap angin dan menggembung, tak lama parasut buatan Korea ini pun terangkat ke atas kepala Dedy. Beberapa langkah menuruni lereng, parasut langsung melayang ke angkasa. Kini kedua kaki Dedy sudah tak menapak tanah, terbang.
“Horeeeeeee…….,” teriak yang lain sambil bertepuk tangan ketika menyaksikan Dedy lepas landas dengan empuk. Tetapi sayang meski sudah berusaha semaksimal mungkin ternyata Dedy tak dapat bertahan lama, angin yang berhembus tak mampu mengangkat parasut. Padahal saat mendekati rimbunan pohon cemara di atas tempat pendaratan Dedy sempat mendapat thermal dan berputar-putar, tetapi itu pun tak mampu mengangkat Dedy dan akhirnya mendarat setelah sekitar 20 menit melayang.
Matahari sudah mulai menyengat. Bebatuan bekas muntahan lahar membuat Guntur nampak makin liar. Beberapa saat kemudian giliran Andreas yang terbang, beruntung saat Andreas terbang angin sudah mulai bagus, buktinya begitu lepas landas Andreas langsung terangkat ke atas dan lebih tinggi dari lokasi lepas landas yang berada diketinggian 1500 meteran di atas permukaan laut.
Melihat Andreas terbang tinggi, yang lain langsung bersiap-siap. Dede yang menggunakan parasut “Medco” mengambil posisi terdepan. Menjelang Dede lepas landas angin sih biasan-biasa saja, tetapi begitu lepas landas tiba-tiba angin berhembus kencang. Dede terangkat ke atas dengan kecepatan lebih dari 5 meter/detik.
Tiba-tiba parasut Dede kolaps sayap kirinya. Mengembang lagi, gantian kanan yang kolaps separuh. Dede langsung menarik tali kemudi kiri untuk mengimbangi agar arahnya tetap lurus, berhasil. Tetapi goncangan parasut Dede di dalam arus angin naik ini tak langsung berhenti. Angin yang bertambah kencang membuat parasutnya tak bisa maju, malah sempat mundur. Kejadian tak terduga ini sempat membuat penerbang yang masih di darat jadi kecut. Suasana sempat hening, saat Dede “diterkam” thermal gunung guntur yang buas. Tampaknya thermal keras yang muncul mendadak itu adalah thermal yang sudah matang, lalu dipicu sendiri oleh gerakan Dede jadilah thermal keras.
Untung saja, meski masih yunior dari segi umur - baru 16 tahun, Dede sudah punya pengalaman terbang yang lumayan banyak. “Aku ngeri juga dan deg-degan lho saat parasut kolaps dan terbang mundur. Sempat takut, sebenarnya mau minta tolong, tetapi di atas minta tolong ke siapa?” ungkap Dede setelah mendarat. Benar kata, Dede saat seorang penerbang paralayang terbang, nasibnya berada ditangannya sendiri. Tak ada yang mampu menolong jika terjadi sesuatu di atas sana. Ketenangan mental dan ketrampilan teknis benar-benar dibutuhkan dalam olahraga ini .
Lega rasanya setelah melihat Dede kemudian dapat menguasai diri. Setelah menginjak akselerator yang berfungsi merubah sudut parasut serang agar menjadi lebih kencang, ia pun menghindar dan menjauh dari lereng dan mendekat ke arah Andreas yang terbang membubung di arah kanan lokasi lepas landas.
Warna-Warni di Atas Langit Biru
Setelah menunggu beberapa saat penerbang yang lain menyiapkan perlengkapan. Johan, Inoel, Erland, Wien Suhardjo secara berurutan terbang. Masing-masing lepas landas dengan aman, kecualI Inoel yang sempat kolaps di detik-detik awal penerbangannya. “Wah iya kerasa kolaps, aku ke bawa ke kanan, tetapi setelah diantisipasi langsung mengembang lagi,” ujarnya.
Langit biru di atas Gunung Guntur jadi meriah dihiasai parasut warna-warni, nggak mau kalah dengan hiasan 17 agustusan di jalan-jalan. Memang kegiatan penerbangan ini dilakukan tepat tanggal 17 Agustus tahun lalu. Disamping ikut memeriahkan 17-an sekaligus mengisi week end panjang.
“Kita pengin punya kegiatan yang lain dari pada yang lain untuk memperingati hari kemerdekaan, makanya kita adakan acara terbang di Gunung Guntur ini,” ungkap Anas Ridwan dari Boogie yang mendukung langsung kegiatan ini.
Angin sudah mulai stabil, thermal yang muncul sudah cukup lembut, tak kasar lagi seperti pada awal-awal pembentukkannya. Panas mulai menyengat padahal waktu itu jam menunjukkan pukul 10.00 pagi. Kunun dan Anto mendapat giliran setelah kondisi angin dianggap stabil, maklum dua orang ini paling minim pengalaman terbangnya di gunung seperti Guntur ini.
“Ayo siap-siap, mumpung angin masih bagus nih, kalau kesiangan takutnya tambah galak,” ujar Idon yang kemudian ikut membantu persiapan Kunun dan Anto.
Dengan teknik lepas landas alpine Kunun dan Anto berurutan menyusul penerbang-penerbang yang udah terbang duluan. Lewat radio Idon memberi komando agar kedua penerbang ini berhati-hati, “tetap jaga presure parasut dan jaga tetap di atas kepala. Kalau parasut ke depan, tarik togel sedikit, kalau parasut kebelakang angkat. Coba kalau denger goyang kaki,”. Dari kejauhan Kunun dan Anto tampak menggoyangkan kaki sesuai komando yang berarti komunikasi berjalan lancar.
Langit biru makin ramai. Terdengat teriakan-teriakan samar-samar dari arah Air terjun Citiis saat Wien dan Erlan terbang diatas para pekemah yang sedang asyik nongkrong dipinggir sungai kecil disebelah kiri lokasi lepas landas.
Beberapa penerbang membuat manuver berputar-putar untuk menangkap thermal. Dengan berpuitar 360 derajat itu para penerbang berusaha berada di dalam di pusat thermal agar dapat naik maksimum dan terbang makin tinggi. “Parasutku hampir kolaps, untung cepat aku kendalikan. Aku juga sempat terayun-ayun sehingga parasutku bergerak ke depan. Kalau nggak dikontrol bisa front tuck, gawat tuh,” ungkap Wien Suhardjo yang terbang pakai parasut berlogo Boogie.
Lain lagi dengan Erlan yang terbang dengan parasut bertuliskan Desslo, “ Wah asyik banget meskipun thermalnya agak kasar. Terbang ke depan malah naik terus, ya udah aku berputar aja agar tetap di dalam angin naik itu, “ ungkap Erlan yang berasal dari Sukabumi itu.
“Ini pertama kali saya terbang tinggi dan lama. Sempat ngeri juga lho habis tinggi banget, apalagi waktu dimainin thermal yang agak kasar jadi rindu tanah deh,” cerita Anto yang baru membukukan jumlah terbang ke 30 kali.
Makin Siang makin Hot
Makin siang kondisi udara makin hot. Langit biru kini dihiasai awan-awan cumulus yang berarakan. Kota Garut tampak dikejauhan. Kawasan wisata Terogong Cipanas tempat tim menginap terlihat jelas di kanan bawah. Di lokasi lepas landas tinggal 3 penerbang lagi dan kru darat. “Angin di bawah cukup kencang arah dari Selatan,” info Dedy dari lokasi pendaratan lewat handy talkie.
“Ayo kita siap-siap, kalau bisa terbang bersama-sama dan berdekatan,” ujar saya ke Idon, dan Opa David yang langsung menyiapkan parasut masing-masing. Saya berada paling depan, giliran berikutnya Opa yang akan tandem dengan Erik, dan yang terbang paling akhir adalah Idon Ramadhan.
Dengan satu hentakkan parasut Apco Allegra berwarna merah langsung mengembang sempurna. Saya periksa apakah parasut mengembang sempurna atau tidak, saya juga periksa apakah tali-tali ada yang membelit? Setelah pasti oke, langkah saya lanjutkan, hanya dengan dua langkah parasut melayang dan langsung membubung tinggi. Inilah saat-saat yang paling dramatis yang paling saya suka, yaitu detik-detik awal saat kaki lepas dari tanah untuk melayang. Bayangkan saja, kita tidak punya sayap tetapi mampu terbang seperti burung.
Udara makin panas, thermal juga makin kasar. Hanya dalam beberapa menit terbang saya langsung membubung tinggi hampir sejajar dengan puncak gunung Guntur. Saya berputar-putar untuk tetap mempertahankan ketinggian. Dari atas sana, pemandangan nampak sangat elok. Bekas lelehan lahar tampak seperti ular yang menggeliat dengan ujung lelehan persis di kaki bukit mengarah ke kawasan wisata Terogong, Cipanas, Garut.
Goyangan parasut terasa kasar, beberapa kali ujung parasut kolaps. Secara reflek tangan yang memegang tali kemudi langsung mengantisipasinya agar parasut tetap mengembang. Terbang dalam kondisi seperti ini, penerbang harus selalu aktif agar parasut tetap terjaga stabil di atas kepala kita. Dari ketinggian saya tengok lokasi lepas landas, tampak David dan Erik bersiap-siap untuk lepas landas, di belakangnya berdiri Idon yang menggunakan parasut warna pink.
Tak berapa lama, parasut tandem berwarna merah yang dikemudikan David langsung membubung setelah lepas landas. Erik si tukang foto yang jadi penumpang berteriak kegirangan saat kaki lepas dari tanah. “Oeee..aku terbang..” teriak Erik dengan dua buah kamera yang mengantung dilehernya.
Idon menyusul terbang, saat ketinggian saya dan David hampir sama. Meski terbang belakangan justru Idon lah yang lebih beruntung mendapatkan thermal yang cukup besar, karena begitu lepas landas ia langsung melejit ke angkasa dengan berputar-putar 360 derajat agar dapat naik vertikal sambil memanfaatkan angin naik, ”Cepat banget naikknya, tahu-tahu udah di atas puncak Gunung Guntur,” cerita Idon.
Kondisi udara memang sulit diprediksi, berbeda waktu lima menit saja kondisi udara bisa sangat berbeda, bisa membaik atau malah memburuk. Kalau membaik yah tentu saja oke, tetapi kalau memburuk ya terpaksa harus menunggu lebih lama lagi, tetapi inilah olahraga paralayang yang sangat tergantung dengan alam.
Terbang di angkasa memang mengasyikkan, tetapi terbang tentu ada batasnya. Saat kehabisan angin atau badan sudah lelah, saatnya penerbang menuju ke tempat pendaratan. Sebagian besar penerbang yang ikutan kali ini, baru pertama kalinya terbang dari Gunung Guntur sehingga di mana harus mendarat menjadi sebuah pengalaman baru dan bagi mereka.
Target pendaratan utama adalah kompleks penambangan pasir yang nampak jelas dari lokasi lepas landas. Dari puncak gunung, tempat pendaratan itu seperti dataran yang luas, padahal sebetulnya banyak gundukan-gundukan pasir dan kerikil yang siap diangkut serta lubang-lubang bekas galian.Satu persatu para penerbang itu pun mendarat dengan empuk di antara gundukan-gundukan tersebut. Lengkap sudah petualangan mendaki sekaligus terbang, begitu kaki menjejak tanah. Senyum lega dan rasa puas terpancar di wajah para penerbang itu. Saya pun lalu terkenang kembali saat pertama kali terbang dari puncak gunung ini sepuluh tahun yang lalu, dan kenangan itu pun kini bertambah kembali. Kami harus kembali lagi esok! Bravo Paralayang!! (Gendon Subandono, Foto: Eriek/Boogie)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment